Beberapa hambatan yang dihadapi peternak dalam usaha perunggasan salah satunya adalah penyakit unggas. Perubahan cuaca yang tidak menentu, cuaca ekstrim, sanitasi dan biosekuriti yang kurang baik dapat menyebabkan ayam terkena penyakit.
Penyakit unggas menyerang peternakan ayam di Indonesia dan perkembangannya masih sering menjadi momok para peternak. Prof. drh. Charles Rangga Tabbu, M.Sc., Ph.D., ketika ditemui di kantornya, Senin (16/11) mengatakan bahwa dinamika penyakit unggas pada tahun ini masih sama dengan tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan tingkat penyakit unggas yang signifikan baik pada tahun 2015 maupun pada tahun 2016 mendatang. Penyakit unggas sendiri meliputi penyakit yang disebabkan oleh agen infectious dan non infectious. Agen infectious tersebut meliputi virus, bakteri dan parasit. Sedangkan agen non infectious meliputi jamur, mikoplasma yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan sindrom imunosupresif.
Menurut Prof. Charles, frekuensi di tiap daerah dan tiap peternakan berbeda-beda walaupun agen infeksinya sama. Penyakit pada unggas yang masih menjadi masalah di peternakan unggas tahun ini antara lain ND, AI, korisa, koksidiosis, NE, dan infeksi virus IB-QX. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini mengatakan virus AI merupakan virus yang harus diwaspadai karena kelembaban yang tinggi membuat daya tahan virus di lingkungan luar menjadi lebih lama dan membuat penyebaran penyakit ini begitu cepat. Kecenderungan peternakan unggas di Indonesia yang terkumpul di satu tempat juga menjadi faktor yang dapat membuat penyakit AI penyebarannya menjadi lebih cepat.
Lilis menjelaskan di tahun 2016 kasus AI kemungkinan besar akan meningkat. “Hal ini menuntut kita untuk melakukan penelitian terus-menurus terhadap perkembangan virus AI di lapangan, jenis vaksin yang digunakan (perlu ada tambahan atau tidak), manajemen pemberian vaksin secara tepat dan penerapan biosekuriti secara ketat.
Sementara itu, Prof. Wayan T Wibawan mengatakan, musim kemarau yang berkepanjangan sangat dikhawatirkan. “Namun tahun 2016 nanti, saya kira tidak banyak yang berubah. Tapi kalau kemarau berkepanjangan, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah mengurangi stres. Mungkin terhadap beberapa penyakit ada bagusnya juga, untuk virus-virus yang tidak tahan terhadap panas seperti ND dan AI,” ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Wayan T Wibawan mengajak untuk lebih memperhatikan bagaimana meningkatkan kualitas dan integritas kesehatan saluran cerna. Menurutnya, saat ini pemerintah dan negara-negara ASEAN mengurangi penggunaan antibiotik. Nah salah satu hal yang bisa kita lakukan, bagaimana bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari apa yang disebut dengan prebiotik, probiotik dan postbiotik. “Sudah banyak testimoni yang disampaikan kepada saya dari penggunaan prebiotik, probiotik maupun postbiotik ini terhadap status kesehatan ayam. Memang belum intensif kita lakukan. Namun, saya melihat ini adalah satu peluang,” tukasnya.
Senada dengan Prof. Wayan T Wibawan, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH, drh. I Ketut Diarmita, MP., mengatakan bahwa dalam penanganan penyakit ungags, yakinkan bahwa diperoleh bahan pakan yang baik dan berkualitas; manajemen kesehatan seperti masalah brooding, ventilasi manajemen litter harus diperhatikan dengan baik; pemakaian prebiotik, probiotik dan postbiotik dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas/integritas saluran pencernaan. “Nah dalam menyikapi pengaruh iklim yang tidak menentu, penggunaan sistem closed house bisa menjadi pilihan, kontruksi kandang perlu diperhatikan, dan preparat anti stres seperti vitamn C, E, Se dan preparat penguat hati bisa diaplikasikan.
Utamakan biosekuriti
Menurut Prof. Charles, permasalahan klasik dan terkini dalam penyebaran penyakit unggas di Indonesia masih seputar manajemen pemeliharaan. Banyak aspek pendukung yang kompleks yang membuat timbulnya permasalahan terkait perunggasan antara lain dari segi kualitas DOC, kualitas pakan, kualitas air minum, sistem perkandangan, sistem pemasaran dan biosekuriti. “Jika segala aspek tersebut dapat dikontrol dengan baik, maka permasalahan pada bidang perunggasan bisa teratasi dengan baik pula,” ujarnya. Beliau menekankan, biosekuriti merupakan aspek yang sangat penting dan perlu diperhatikan terkait permasalahan perunggasan. Biosekuriti memiliki peranan yang sangat penting sebagai garda terdepan pencegahan terhadap penyakit unggas sehingga penyakit tidak dapat masuk baik antar individu unggas, antar kandang maupun antara kandang dengan lingkungan. Penerapan biosekuriti yang baik dapat menekan penyebaran penyakit pada suatu peternakan.
Nah untuk penyakit IB-QX, jelas Prof. Charles, sampai saat ini memang antigen IB-QX masih belum ada di Indonesia, sehingga untuk dapat mengidentifikasi penyakit ini hanya dapat diketahui setelah terlihat adanya gejala klinis berupa perut yang membesar pada usia produksi. Vaksin sebagai pencegahan penyakit ini ternyata sampai saat ini masih belum maksimal, sehingga masih sering dijumpai adanya penyakit ini pada ayam layer di usia produksi. Salah satu cara pencegahan penyakit IB-QX yaitu dengan cara penerapan biosekuriti yang baik. Oleh karena itu, biosekuriti memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam mencegah penyakit seperti IB-QX ini, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Lakukan vaksinasi
Menurut Drh. Zainul Zakir, Plant Manager PT Sarana Veterinaria Jaya Abadi (SAVETA), program vaksinasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit unggas. Himbauannya ini sangat mendasar karena penyakit virus selalu ada seperti ND, AI dan IB. “Penyebaran penyakit virus tersebut lebih cepat dan pengobatannya lebih sulit,” terangnya. Misalnya untuk penyakit IB, kalau daerah itu sudah terinfeksi, peternak harus melakukan vaksinasi. Menurut Zainul, saat ini IB yang menyerang ayam tidak hanya tergolong dalam IB klasik, tapi IB varian juga ditemukan pada ayam. Salah satunya, IB varian QX yang dikenal dengan IB Pinguin. Penyakit ini menyerang saluran reproduksi dan mengganggu produksi pada ayam ras petelur (layer). “IB Pinguin ini menyebabkan kista di saluran reproduksi,” terangnya.
Untuk melindungi ayam dari serangan virus IB Pinguin ini, maka program vaksinasi harus dilakukan. “Ayam divaksin sebelum berumur 3 minggu atau masih di periode starter,” jelasnya. Jika tidak dilakukan, maka peternak akan merugi. Karena ayam tidak bisa divaksin setelah terserang virus ini di saat umur produksi. “Kasus ini sama seperti penyakit Marek, jadi kalau ayam sudah terserang virus ini tidak bisa divaksin,” ungkapnya. Permasalahan yang terjadi, menurutnya pada saluran telur. “Sebetulnya ayam ini masih produktif, tapi saluran telurnya tersumbat dan telurnya pecah di dalam,” ungkapnya.
Zainul memberikan rekomendasi untuk program vaksinasi di kasus penyakit IB Pinguin. Vaksinasi bisa dilaksanakan sebelum ayam berumur 3 minggu dan dilakukan pengulangan vaksinasi di umur produksi. “Tapi kalau pengalaman kita, vaksin di awal sudah bisa melindungi ayam untuk selamanya,” ungkapnya. Penyakit virus lainnya yang saat ini tidak menyebabkan kematian pada ayam, namun mengurangi produksi pada layer yaitu AI dan EDS (Egg Drop Syndrom). Zainul mengungkapkan bahwa AI saat ini tidak menyebabkan kematian tapi mengganggu produksi. Peternak harus melakukan pengawasan terhadap layer jika terjadi penurunan produksi. “Kasus ini bisa dimonitor dari titer antibodi,” kata Zainul.
Peningkatan kasus EDS tahun ini, juga memprihatinkan. Menurutnya penyakit ini mengalami perubahan sehingga program vaksinasinya harus berbeda. “EDS biasanya divaksin sekali dan sudah bisa melindungi ayam,” terangnya. Namun, ia menambahkan untuk saat ini untuk vaksinasi yang dianjurkan sebanyak dua kali, antara 10 minggu – 12 minggu lalu di umur 15 – 17 minggu. “Jadi titernya saat puncak produksi sudah maksimal,” jelasnya. Perubahan pola ini kemungkinan disebabkan oleh imunosupresif dan bisa perubahan iklim di lapangan. Awal tahun 2016 mengalami musim penghujan, tentunya beberapa prediksi tentang wabah penyakit ayam bermunculan.
(Majalah Poultry Indonesia Desember 2015)